B A N I M O E K T I

Loading

Banimoekti

Bani Mukti adalah sebuah nama dari keluarga sepasang suami isteri petani kecil bersahaja H Mukti Mustadjab dan Hj Rupiah yang menikah sekitar tahun 1939. Keluarga ini berasal dari desa Kenduruan kabupaten Tuban, pada masa itu desa Kenduruan termasuk desa kering dan minus, sehingga penduduknya menyandang berbagai keterbatasan. Kondisi yang demikian, berimplikasi pada beban bagi orang tua untuk bisa membuat kelayakan hidup bagi keluraganya yang semakin berat, termasuk keluarga H Mukti Mustajab yang menanggung 7 orang anak putra dan purti. Beban itu semakin terasa berat oleh Ibu Hj Rupiah yang ditinggal wafat suaminya pada saat anak-anaknya masih kecil, bahkan anak terkecil nomor tujuh masih bayi saat itu. Berkat doa tulus sang ibu ditunjang dengan kemauan kerja keras putra-putrinya kemudian setapak demi setapak keluarga ini terus berkembang, dan dari 7 orang anak tersebut sampai dengan tahun 2013 berkembang menjadi 114 orang, dan 42 orang diantaranya berhasil menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana dari berbagai disiplin ilmu, yang antara lain meliputi 3 orang Profesor Doktor, 4 orang Doktor, 13 orang master dan 22 orang sarjana. Keluarga ini berkembang menjadi besar karena dari awal oleh pendahulunya selalu ditumbuhkan rasa kebersamaan, tenggangrasa, saling mengasihi, saling menyayangi, saling memotivasi, saling membantu baik dalam suka maupun duka, saling memberdayakan, dan yang sangat mengesankan adalah selalu bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah dalam bentuk apapun. Sesepuh Bani Mukti pernah berpesan bahwa salah satu cara bersyukur antara lain adalah dengan selalu mengingat asal-usul kita yang berawal dari serba keterbatasan, kalau sekarang berkembang menjadi serba kecukupan itu tidak lain karena campurtangan Allah yang maha rohman dan rohim, tidak semata-mata kepintaran otak kita. Apa yang beliau sampaikan tidak hanya berhenti pada ucapan petuah, tetapi secara nyata beliau contohkan dalam membina keluarga besar ini. Hal-hal praktis dalam bentuk tauladan itulah yang kemudian menjadi pengokoh ikatan kekeluargaan, sehingga sampai saat ini tetap membekas dalam benak kita sebagai warisan berharga yang semestinya terus kita lestarikan. Tantangan dan otokritik kokohnya ikatan kekeluargaan yang menjadi kebanggaan keluarga ini sangat terasa pada generasi satu dan kedua. Eratnya kekeluargaan pada generasi satu, memang sudah seharusnya kerena mereka masih saudara kandung, kemudian turun pada generasi kedua kekerabatan itu masih terasa cukup erat karena ayah dan ibu mereka mencontohkan selalu berkomunikasi secara baik dengan saudaranya. Selain itu kekerabatan juga diperkuat dengan seringnya interaksi secara langsung diantara mereka, baik dalam even khusus maupun urusan keseharian. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana dengan generasi ketiga, keempat dan selanjutnya, masih bisakah mereka melestarikan kebersamaan dalam ikatan kekeluargaan seperti yang sudah dirintis para pendahulunya? Perkembangan dalam keluarga Bani Mukti sampai saat ini sudah melahirkan generasi keempat [generasi kesatu (G1): anak, generasi kedua (G2): cucu, generasi ketiga (G3): buyut dan generasi keempat (G4): canggah], tentu masing-masing dihadapkan pada tantangan yang berbeda sesuai dengan masanya. Seiring berjalannya waktu, kekokohan ikatan kekeluargaan akan diuji, masihkah mampu menyatukan rasa kesetiakawanan dalam menghadapi problematika kehidupan diantara sesama anggota keluarga yang semakin melebar.

"Keluarga bukan hanya pilar masyarakat, tetapi juga inti kehidupan kita. Ini adalah tempat di mana cinta dimulai, di mana kita belajar tentang kompromi dan pengorbanan, dan di mana kita menemukan kekuatan untuk melewati hari-hari sulit." - Ralph Waldo Emerson