Hikayat Sebuah Biji
Nun jauh di Kenduruan, sebuah wilayah kecil yang barangkali tak pernah dicatat dalam sejarah kejayaaan Ronggolawe saat jadi penguasa Tuban, atau sebuah wilayah yang barangkali tak pernah terlihat dan hanya sekadar nylempit di peta bumi Indonesia, yang boleh jadi juga tak pernah terpantau satelit mata-mata NASA milik bangsa Amerika yang tak terlawan itu, Alm. H. Mukti Mustadjab dan Alm. Hj. Rupiah dari jauh-jauh hari dengan hati riang dan berbahagia, dengan doa siang dan malam, sudah berdendang syair menanam biji. Harapannya; biji ditanam, akan menjadi, tujuh tangkai seratus biji Di dunia pertanian, ada konsep alam yang sangat dipahami petani. Begitu menanam biji, tunasnya tumbuh, hasil akhirnya adalah panen. Nah, Mukti Mustadjab dan Rupiah, dengan segala kesederhananya, adalah gambaran petani yang sukses. Tak hanya sekadar menanam sebiji, melainkan tujuh biji sekaligus. Bisa dibayangkan ketika biji itu tumbuh dan masing-masing mengembangkan potensi dan jatidirinya. Hasilnya; akar, cabang dan dahannya bersilang-silang merajut daun, menguntai seribu bunga, yang akhirnya menjadi buah. Lalu panen. Panen yang sangat besar. biji ditanam akan menjadi tujuh tangkai seratus biji biji ditanam, akan menjadi, tujuh tangkai seratus Selesai? Tentu belum! Kisah menanam biji hingga menjadi tujuh tangkai lalu panen dan kembali lagi menjadi seratus biji, seribu biji, bahkan tak terhingga biji akan terus berlanjut sesuai hukum Illahi. Tidak akan pernah berhenti, kecuali jika memang dikehendaki-Nya untuk berhenti. Mukti Mustadjab dan Rupiah tak mungkin mengawal dan merawat tanamannya secara terus-menerus. Ada masanya. Masa yang berlaku sesuai dengan hukum Illahi. Dan masa itu sudah tiba berpuluh tahun silam. Berarti, selesai pula beliau menunaikan tugasnya. Kini, Lebaran Syawal 1428 H ini, hasil panen tokoh sentral H. Mukti Mustadjab dan Hj. Rupiah kembali berkumpul. Harusnya ini menjadi momentum istimewa. Kita semua seperti bersama-sama sedang membaca syair ciptaan Rabiyyah al Adawiyah. Bayangkan, tujuh biji yang dulu beliau tanam dengan segenap kesederhanaan dan keprihatinan itu kini sudah menjadi ratusan orang. Generasi pertama, kedua, ketiga, anak, menantu, cucu, dan cicit jika dikumpulkan sudah mencapai angka ratusan. Bukan lagi puluhan. Barangkali sudah cukup rumit jika hanya dihitung dengan jari tangan plus jari kaki ditambah hidung, dua mata, dua telinga, dua alis, atau yang lainnya. Malahan, saat ini, sepertinya sudah diperlukan kalkulator untuk menghitung anak keturunan H. Mukti Mustadjab. Apalagi itu jika 20 tahun mendatang. Begitukah?!Ya, saya nyuwun dukungan agar Lebaran Syawal 1428 H ini dijadikan momentum istimewa. Dimana istimewanya? Minimal sudah ada langkah maju untuk menerbitkan Kalam Bani Mukti ini. Warta khusus dan juga edisi khusus. Khusus karena mengerjakannya serba kilat, gedubrak-gedubruk, telpon sana telpon sini, melekan, nggugahi yang sedang sare untuk dimintai pertimbangan, termasuk pemilihan judul edisi khusus ini. Dan, hasil akhirnya seperti ini. Serba terbatas, kurang kaya ide, tidak sempurna, jauh panggang dari api, dll. Tapi syukur tetap bisa terbit/cetak. Minimal amanah para sesepuh pada Lebaran Syawal 1427 H tahun lalu ada yang sudah direalisasikan. Berikutnya tinggal penyempurnaan, ngapiki, ndandani, nambah ide kreatif, nambah rubrikasi, nambah keberagaman tulisan, minta sumbangan tulisan dari masing-masing Keluarga Besar ini yang berangkat dari tujuh biji itu, membuang yang tidak perlu, masukan dan saran dari para sesepuh, dari edisi perdana yang masih anget ini. Siapa tahu, suatu saat, suatu ketika, pada suatu hari, Kalam Bani Mukti ini bisa menyaingi tiras Majalah Time Asia ketika memberitakan Soeharto adalah Presiden Indonesia Terkorup Nomor Satu di Dunia. Siapa tahu to. Nyuwun sewu.