Kapal Kebersamaan
.jpg)
Keadaan yang seperti itu manakala mampu kita pertahankan di sebelas bulan selain Ramadhan, maka itulah sesuatu yang bisa dan mampu mengantarkan kita untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar lagi yaitu;Hidayah. Hanya dengan hidayah Allah-lah semata-mata pikiran, hati, lisan, dan seluruh anggauta tubuh kita ringan untuk selalu mengingat Nya. Juga karena HidayahNya yang mampu menelorkan bagaimana kita wajib memelihara, mengembangkan dan memajukan kwalitas hidup kita. Dan itulah sebenarnya hakikat tujuan berpuasa kita, yaitu berpuasa yang mampu mendapatkan hidayahNya sehingga hidup kita semakin ringan dan mudah menjalankan perintah Allah swt. Salah wujud kita sebagai hamba yang mampu mendayagunakan HidayahNya adalah dengan merenungi eksistensi kita sebagai manusia. Kemampuan tersebut adalah salah satu tangga memarifati jati diri dan kehadirannya di alam fana ini. Melalui tangga Marifat itulah seseorang akan menemukan kesadaran tentang hakikat kemanusiaannya, potensinya, kualitas dasarnya, kepribadiannya dan misi dirinya yang harus ditunaikan selama hayat dikandung badan. Dengan merenungi eksistensi diri, kita akan menemukan sebuah kenyataan bahwa diri kita adalah asalnya satu (ummatan waahidan), yaitu keturunan Nabi Adam a.s, dan karenanya harus bergaul baik dengan sesamanya, tidak ada seorang manusiapun yang mampu hidup sendirian, apalagi kalau dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, manusia satu akan tergantung dengan lainnya. Artinya, bila kita bersikap baik pada sesamanya, sama artinya dengan kita membuka kran rizqi dari Allah lebar-lebar. Bukankah selama ini rizqi kita senantiasa harus lewat tangan orang lain?. Sebaliknya, semakin mengucilkan diri dari pergaulan dengan orang lain, berarti menutup rapat pintu rizqi kita sendiri. Dengan merenungi eksistensi diri pula, manusia dapat menemukan sebuah kesadaran bahwa di dalam dirinya melekat dua dimensi (ruhani dan jasmani), yang sekaligus memastikannya sebagai makhluq sempurna dan yang membedakan dengan makhluq-makhluq lain. Kedua dimensi itu, selain memiliki kebutuhan yang berbeda, juga saling menyempurnakan dan membentuk sebuah struktur kepribadian yang padu, yaitu kepribadian manusia.Secara lebih jauh, dengan memperhatikan dimensi-dimensi yang ada pada diri manusia dengan segala keteraturannya, kerumitannya dan kemulyaannya, dapat mengantarkan kepada keimanan dan keyakinan kepada Sang Maha Penciptanya, serta membentuk kesadaran terhadap kedudukan manusia sebagai hamba Allah. Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan pada dirimu, maka apakah kamu tidak memperhatikan ? (Q.S. Adz- Dzariyat : 20-21). Itulah kesadaran kemanusiaan manusia yang sepanjang hidupnya selalu menjadi motivator dan sekaligus menjadi energi kuat untuk merealisasikan tujuan dia diciptakan, yaitu menjalankan misi autentik (menjadi kholifah), dan untuk mencapai cita-citanya (sejahtera lahir batin). Kekuatan energi diri yang ada pada setiap diri itu, tidak henti-hentinya menjadi pembangkit tenaga spiritual yang bisa menggerakkan seluruh kesadarannya untuk mengoptimalkan semua potensi diri, hingga mencapai kualitas Muttaqin. Manusia agung Muhammad Rasulullah s.a.w mengibaratkan kompak dan cerei berainya hubungan antar manusia satu dengan lainnya adalah seperti sebuah rombongan yang menaiki kapal yang sedang mengarungi samudra lautan luas. Salah satu diantara rombongan/penumpang dapat menenggelamkan semua penumpang yang ada di dalamnya, jika salah seorang tadi melubangi kapal walau sebesar paku dan penumpang lainnya membiarkannya.(H.R Bukhari). Tentu kita tidak akan ingin menjadi orang yang akan melubangi kapal tersebut, atau kita pasti merasa terhina, malu, dan marah manakala kita dituduh sebagai orang yang melubangi. Dan tentu kitapun tidak akan tinggal diam bila di atas kapal tersebut, kita melihat salah seorang penumpang ada yang ingin melubangi kapal, karena dengan membiarkannya berarti tenggelam buat semuanya. Kiranya tidak ada seorangpun yang harus kita tunjuk dan bertanggung jawab untuk mengawasi bocor dan tenggelamnya kapal kebersamaan. Sayangnya, kelemahan kita bersama, terlalu terkungkung oleh sekat-sekat formalitas pelayaran, tanggung jawab keselamatan hanya kita bebankan pada mereka-mereka yang ditunjuk sebagai Nahkoda kapal. Padahal tangung jawab atas keselamatan berlayarnya kapal sampai ke pulau yang dituju adalah tugas seluruh penumpang yang ada di atasnya. Bukankah prinsip tanggung jawab dan kemulyaan seseorang dihadapan Tuhan bukan ditentukan oleh status formalitas yang dia sandang, akan tetapi setiap insan mempunyai peran yang sama untuk mendapatkan kemulyaanNya.Kalian adalah sebaik-baik umat, yang mengajak kepada manusia untuk berbuat kebaikan dan mencegahnya dari kemungkaran Salah satu pesan yang ingin dibangun oleh Allah dan RasulNya dibalik diwajibkannya berpuasa adalah terwujudnya manusia yang mencapai derajat Muttaqin. Yaitu manusia yang mampu menggunakan semua energi potensial yang tertanam dalam dirinya hanya digunakan untuk pengabdian yang tulus kepada Allah swt, yang selanjutnya energi itu dioptimalkan untuk menuju citi-cita luhurnya, yaitu sejahtera dunia akhirat. Seandainya kita mengikuti training satu dua hari saja, dan hasilnya belum mampu kita aplikasikan dalam kehidupan nyata, barangkali masih diaggap sebagai sesuatu tindakan yang wajar. Akan tetapi, selama Ramadhan, tiga puluh hari penuh kita mengikuti training Allah,dan hasilnya belum nampak, tentu kita harus bertanya pada hati kita masing-masing. Wa Allah alamu bisshawab.